Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) selama ini dikenal sebagai wadah yang menaungi orang-orang pintar yang biasa kita sebut ilmuwan. Rupanya, selain ICMI, banyak pula ilmuwan yang bergabung pada wadah lain bernama Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI). Apa saja yang dilakukan dua organisasi ini dalam mendorong kiprah para ilmuwan Muslim di Tanah Air?
Mantan menristek Suharna Surapranata, salah seorang pendiri MITI, mengungkapkan, MITI berawal dari kepedulian dan perhatian akan berbagai persoalan bangsa, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Pada akhir dekade 80-an, sekitar sepuluh aktivis dakwah kampus (ADK) yang berkesempatan menimba ilmu di luar negeri khususnya bidang iptek menggagas berdirinya wadah untuk menghimpun mereka."Wadah awal hanya berbentuk forum komunikasi SDM Iptek yang sifatnya sudah nasional, karena kami berasal dari berbagai daerah," katanya kepada Republika, Selasa (15/11).
Menurut pria kelahiran Bandung, 13 Desember 1955 ini, sejak berdiri hingga kini MITI telah banyak melakukan kerja yang signifikan bagi pembangunan, khususnya di bidang iptek. Setidaknya ada tiga peran besar yang dijalankan MITI selama ini. Pertama, peran pembinaan dengan melakukan pembinaan profesi di kalangan anggotanya, mulai dari para mahasiswa hingga para doktor yang tersebar di berbagai kampus ataupun laboratorium di dalam dan luar negeri.
"Kami berikan beasiswa kepada mahasiswa berprestasi. Kami dukung riset-riset dengan hibah MITI. Pembinaan juga dilakukan terhadap lembaga atau asosiasi ilmuwan yang menjadi anggotanya seperti Masyarakat Nano Indonesia," terangnya.
Kedua, peran pelayanan dan pemberdayaan kepada masyarakat secara luas. Berbagai aksi sosial dengan memanfaatkan penguasaan teknologi dilakukan para anggota MITI saat bencana terjadi di negeri ini. Tsunami di Aceh, banjir bandang di Jember, atau gempa bumi di Yogya menjadi saksi keterlibatan kuat MITI dalam memberikan solusi teknologi bagi para pengungsi atau korban bencana. "Di tempat-tempat itu, kami buat instalasi-instalasi air bersih dengan teknologi membran dan ozonisasi yang mampu mengubah air sehingga layak minum."
Ketiga, peran memengaruhi kebijakan terkait dengan iptek. Sebagai lembaga nonpemerintah, kata Suharna, MITI berusaha memberi masukan dan mengkritisi kebijakan pemerintah dalam berbagai persoalan iptek. "Masukan secara objektif dan kritis disampaikan kepada para pemangku kebijakan."
Seperti halnya MITI, ICMI pun mendorong para ilmuwan, peneliti, dan teknolog Muslim Indonesia untuk berkiprah lebih nyata dan memberi manfaat bagi orang banyak. "Nah, ini yang kita lakukan selama ini. Pekerjaan saya keliling nusantara selama ini antara lain melakukan hal ini," ujar Hj Marwah Daud Ibrahim, anggota Presidium ICMI kepada Republika, Rabu (16/11).
Wanita kelahiran Soppeng, Sulawesi Selatan, yang juga ketua umum Masyarakat Singkong Indonesia ini menyebut salah satu penelitian dan perhatiannya terhadap singkong. "Kelihatannya sederhana," cetus doktor komunikasi dari International American University, Washington DC, Amerika Serikat ini.
"Teman kita dari Universitas Jember, namanya Prof Ahmad Subagyo, meneliti ketika dia sekolah di Jepang. Dia menemukan sebuah enzim dalam singkong ketika ditepung sifatnya mirip sekali dengan terigu. Kalau kita misalnya bisa membuat 1,5 juta ton atau 10-20 persen dari yang kita impor, itu kan nilainya Rp 5 triliun. Itu jelas hasil penelitian yang luar biasa," paparnya.
Menurut Marwah, ICMI sangat konsen di situ. "Kita mulai dengan menanam, kita mulai dengan membuat industri di masyarakat, lalu menghimpun teman-teman kita peneliti. ICMI kan di daerah ada yang jadi bupati atau wakil bupati, orang-orang kampus juga rata-rata ICMI, anggota DPRD, dan lain sebagainya. Jadi, bagaimana kita menghimpun serpihan-serpihan menjadi sebuah kekuatan, yang biasanya kita lakukan di pertemuan ICMI." ed: wachidah handasah